22 Mei 1996. Ruang TV. Setelah enam tahun menjadi seorang Juventino, akhirnya kesampaian juga menyaksikan Juve di final Piala Champions! (Dulu, Champions League masih bernama Champions Cup). Walau musti begadang, sukurlah bokap mengijinkan!


Lolos sebagai juara grup, Juve berhadapan dengan Real Madrid di partai perempat-final. Setelah kalah 0-1 melalui gol Raul di Santiago Bernabeu, Juve membalasnya di Delle Alpi dengan gol-gol dari Del Piero dan Michele Padovano tanpa balas. Dengan agregat 2-1, Juve pun lolos ke semifinal untuk menghadapi Nantes. Juara Prancis ini berhasil kita tekuk 2-0 di kandang dengan gol-gol dari kapten Gianluca Vialli dan Vladimir Jugovic dan pada saat tandang, Juve sempat memimpin 2-1 melalui gol-gol Vialli dan Paolo Sousa. Melihat jarak yang cukup jauh, Juve pun mengendorkan serangan dan Nantes berhasil berbalik unggul 3-2 sampai akhir pertandingan. Dengan agregat 4-3, Juve lolos ke partai final menghadapi juara bertahan Ajax Amsterdam di Stadion Olimpico Roma.
Di partai final, tim terbaik dunia, Ajax telah menunggu. Saat itu, mereka mempunyai duo bek tangguh Danny Blind dan Frank De Boer, pemilik tendangan kaki kiri bagaikan rudal. Penjaga gawang muda Edwin van der Saar sudah menjadi salah satu kiper terbaik di dunia. Di tengah, Finidi George-Ronald De Boer-Edgar Davids-Kiki Musampa adalah kuartet pemain tengah terbaik di Eropa dan di depan duet Jari Litmanen-Nwankwo Kanu adalah penyerang tengah kelas dunia sarat kualitas.
Sebegitu baiknya kualitas lini depan Ajax, sampai-sampai striker muda super Patrick Kluivert terpaksa menjadi pemain cadangan. Di bawah asuhan Lous van Gaal, formasi 4-4-2 mereka dengan pemain-pemain mudanya telah menebas habis semua musuh pada dua tahun terakhir, termasuk raja Eropa sebelumnya, Milan, di partai puncak Piala Champions 1994/95.

Di tengah regista brilian Paolo Sousa dibantu oleh dua pekerja keras Didier Deschamps dan Antonio Conte. Kapten Gianluca Vialli memimpin barisan depan dan disokong oleh penyerang kiri jenius Alessandro Del Piero dan penyerang kanan berambut putih Fabrizio Ravanelli.
Dengan pemain-pemain yang kebanyakan adalah hard-worker, jelas Juve adalah underdog dalam pertandingan ini. Walau ada pemain-pemain jenius seperti Paolo Sousa dan Del Piero muda, saya sangat tegang menanti laga antara tim dengan skill tinggi nan menawan melawan tim alot pekerja keras ini. Hati sedikit terhibur karena pertandingan dilangsungkan di Italia dan dengan banyaknya fans yang hadir, partai ini terasa seperti partai kandang.
Saat permainan dimulai, Juve-lah yang pertama-tama mengambil inisiatif untuk mengendalikan permainan. Satu tendangan keras dari Torricelli yang naik membantu serangan berhasil ditepis van der Saar tapi Sony Silooy, bek Ajax, melakukan kesalahan dan bola berhasil dicuri Sousa dan jatuh ke kaki Ravanelli. Sayang, tendangannya masih jauh di atas mistar gawang. Padahal, dia bisa mengembalikan bola ke Sousa yang berdiri bebas di depan gawang.
Namun, pada menit ke-12, Ravanelli tidak melakukan kesalahan. Frank De Boer salah memperkirakan posisi Ravanelli. Bola tinggi yang diperkirakan akan mudah diambil van der Saar berhasil diserobot oleh Ravanelli yang secara ngotot mengejar bola. Akan tetapi, sudut yang tersisa sangatlah sempit. Saya berpikir, “Ah, tidak mungkin gol…”

Setelah itu, saya bertambah tegang. Dan benar saja, walaupun serangan Ajax kurang mematikan, mereka pelan-pelan mulai menguasai ball possession.
Akan tetapi pada menit ke-41, Ajax medapat tendangan bebas di sisi kiri pertahanan kita. Frank De Boer melepaskan rudal tepat ke arah Peruzzi, yang mem-bloknya ke depan. Sayang, bola jatuh di kaki Litmanen yang dengan mudah melesakkan bola ke gawang. 1-1.
Sebelum babak pertama berakhir, tepatnya pada menit ke-43, Lippi sudah melakukan pergantian pemain. Conte ditarik keluar dan Sang Mister memasukkan Jugovic, pemain tengah asal Yugoslavia dengan skill tinggi.
Babak pertama berakhir imbang 1-1. Untuk menambah daya gedor, van Gaal menarik Musampa dan memasukkan Kluivert di babak kedua. Sebelas menit memasuki babak kedua, Lippi mengantisipasi dan melakukan pergantian taktik. Sousa, sang regista, keluar digantikan oleh sayap kanan Angelo Di Livio. Del Piero sedikit turun ke bawah untuk memainkan formasi 4-4-2 dan menekan sayap Ajax yang mematikan. Taktik ini berhasil dan tekanan Ajax berkurang. Pada menit ke-76, Ravanelli yang kelelahan digantikan oleh Padovano.
Sampai waktu normal dan masa perpanjangan waktu berakhir, kedudukan tetap imbang 1-1. Adu pinalti. Badan yang sudah hangat karena tegang ini bertambah panas. Detak jantung makin cepat. Van der Saar terkenal baik dalam mengantisipasi tendangan pinalti.
Peruzzi berhasil memblok tendangan Davids dan Silooy sedangkan Ferrara, Pessotto dan Padovano berhasil menjalankan tugasnya dengan baik (Tetapi van der Saar selalu berhasil menebak arah bola. Hampir copot jantung ini setiap pemain Juve menembak!!)
Penendang keempat adalah Jugovic. Apabila dia berhasil menyarangkan bola, maka Juve akan juara. Vialli, sang kapten, tidak kuasa menyaksikan dan membalikkan badan menghadapi Ferrara. Jugovic mengambil ancang-ancang dan…
JUVENTUS CAMPIONE D’EUROPA!!!
Akhirnya… Otot-otot badan dan jantung yang tegang selama dua jam lebih bisa rileks sambil menyaksikan perayaan kemenangan di lapangan dan inilah momen yang paling manis dan tidak terlupakan seumur hidup:

Semua pemain bermain baik. Kelebihan skill pemain-pemain Ajax bisa ditandingi oleh determinasi dan semangat juang di atas lapangan. GRINTA!!!
Dan dari semua pemain, adalah sang kapten yang selama pertandingan memimpin timnya secara fisik dan mental untuk bisa menjalankan instruksi pelatih dengan baik:

Pengaruh dan kepemimpinan Vialli selama pertandingan tidak bisa diukur oleh statistik akan tetapi terasa begitu nyata di lapangan. Alessandro Del Piero mungkin adalah pemain Juve yang paling melegenda dan merupakan Il Capitano buat kebanyakan fans, akan tetapi buat saya, Il Capitano is and will always be Gianluca Vialli.
22 Mei 1996. It’s such a one fine day.
_____________________________________
0 komentar:
Posting Komentar